Polisi oh Polisi...

by - 22.59

Polisi-polisi, numpang tanya? Sebentar. Atas nama, warga. Dimulai dari November hingga kini, sudahkah engkau istirahat?
Polisi-polisi, saya hanya warga negara biasa. Saya pernah kecewa dengan polisi. Dulu, sebagai pelajar SMA dengan uang saku gocap dan bekal motor pitung (gaya 70 puluhan), saya dipalak polisi.
Padahal, motor saya itu tipe mati tidak, hidup pun segan. Tragisnya motor saya pun bunyinya klutuk klutuk klutuk dan kayuh sepeda pun bisa menyalip motor saya. Tega nian saya masih dipalak polisi.
Hanya karena rem blong dan sedikit lewat garis waktu lampu merah. Saya pun digelandang ke kantor polisi. Diminta damai, padahal dipalak. Bayar 50 ribu, yang berarti utang pada teman. Hilang sudah waktu itu rasa hormat saya pada polisi-polisi.
Saya pikir waktu itu, polisi adalah penegak hukum. Bilangnya damai padahal palak. Bungkusnya damai, isinya jahat. Lebih baik Valak. Luar-dalam sama-sama jahat, luar-dalam konsisten horornya, tidak munafik.
Polisi-polisi, tapi untuk sekarang, saya harus bilang, saya malu padamu.
Saya sering sombong memasang di media sosial, wajah orang tua renta atau yg berkaki pincang ikut demo. Lalu, saya bilang, “Dengan hati mereka menyerukan keadilan.” Dengan bangga saya pajang wajah keriput dan difabilitas mereka. Dengan mudah, jari ini menari untuk membanggakan diri.
Tetapi, saya lupa, bahwa dibalik foto haru yang sedang saya pajang untuk mendulang jempol dan emoticon, ada polisi-polisi yang tidak tidur. Berjaga siang malam, supaya orang tua renta dan difable yang tulus tadi selamat sehat walafiat. Mereka tidak menjadi “tumbal” jika terjadi kerusuhan.
Saya lupa, bahwa ada polisi-polisi yang bergerak senyap untuk mencegah collateral damage, atau kerusakan tambahan berupa korban manusia. Orang-orang yang tidak bisa lari jika terjadi kericuhan, seperti orang tua renta atau difable tadi. Orang yang pasti akan terinjak massa karena kerentanan tubuhnya.
Saya lupa, untuk tugasmu yang begitu berat, engkau harus jadi pagar manusia. Dipukuli harus diam, diteriaki harus tetap mematung, dilempari batu harus tetap sabar. Kalian sedang menunjukkan level dewa untuk aksi manekin, yang jauh lebih mempesona dan sarat makna perdamaian. Manekin-manekin polisi yang sangat cantik dari pada ribuan Luna Maya.
Demi apa? Demi keamanan. Demi perlindungan dan meredam provokasi mereka-mereka yang suka sekali berlagak korban. Berkoar-koar ditindas polisi, padahal polisilah yang sedang ditindas.
Polisi-polisi, numpang tanya. Sudahkah engkau pulang ke rumahmu?
Saya malu, karena dengan sombong, saya pajang foto-foto jumlah massa yang ikut demonstrasi. Seakan-akan jumlah adalah segalanya.
Kami lupa, bahwa dibalik ego kami untuk mengklaim kekuatan massa, disitu ada ribuan perempuan dan laki-laki yang duduk bersimpuh di atas sajadahnya. Mereka memohon pada Sang Khalik, agar polisi-polisi kesayangan mereka pulang dengan selamat.
Kami lupa, ada ribuan anak-anak polisi yang rindu ayah-ibunya pulang memeluk mereka. Karena berhari-hari, polisi-polisi ini pergi dari rumah untuk bertugas mengamankan demo-demo-demo. Untuk apa dan untuk siapa?
Polisi-polisi, numpang tanya. Sudahkah engkau istirahat?
Saya malu, karena dengan mudah jari saya mengetik “pengalihan isu” untuk serangkaian aksi teror bom yang telah berhasil kau amankan. Saya malu, karena dengan berlagak seperti comedian, saya meremehkan Densus 88, dengan mengatakan Densus sukanya menangkap wanita “tukang jualan panci.”
Padahal, saat kau amankan bom itu; saya, keluarga, dan teman-teman saya terhidar dari malapetaka. Sebab paku-paku dari bom Panci tidak mengenal kawan atau lawan.
Mau pilih gubernur Jakarta kek, Papua kek, Aceh kek, bahkan Gubernur dunia Tokek kek, bom itu bisa merenggut nyawa siapapun. Karena paku tak kenal politik. Karena paku itu buta pada siapa saja yang sedang kami bela dengan ngotot di medsos.
Padahal, saat kau amankan bom itu, tersirat sedikit haru di hatimu. Jika saja engkau gagal dan pulang tinggal nama. Sudahkah tadi kau kecup kening istrimu untuk terakhir kalinya?
Tetapi, lagi-lagi saya bodoh dan gagal paham. Sebab, mengetik dan berkomentar bahwa ancaman bom adalah pengalihan isu atau membuat analisis ngawur hanya karena bunyinya yang tidak keras, jauh lebih gampang daripada berhadapan dengan bom itu sendiri. Lebih mudah daripada menghadapi nyawa saudara-saudara saya
Bahkan, bos-mu, Pak Tito Karnavian pun bilang: banyak perwira polisi yang tidak pulang 1 tahun hanya untuk mengamankan Indonesia dari teror bom.
Dan, lagi-lagi dengan pengecut, jari ini mudah sekali mengatakan di media sosial tentang Bos Tito, “Itu kan tugas polisi.” Ah, perihnya.
Pahit memang pak, jadi polisi di Indonesia. Kalau bapak-bapak polisi ini jadi polisi di Amerika Serikat, di Australia, atau di negara maju lainnya, warga pasti dengan mudah akan bilang “Well done,” “Great Job, Police,” “Excellent!”

You May Also Like

0 komentar